A. Sejarah
masuknya wali songo ke Indonesia
Wali Songo di
tanah Jawa dikenal sebagai sem¬bilan orang Wali-Ullah yang dianggap sebagai
penyiar-penyiar terkemuka agama Islam. Mereka ini sengaja dengan giat
menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam. Waktu penduduk tanah Jawa
masih berkeper¬cayaan lama yang percaya dengan hal-hal gaib, para wali tersebut
dipercaya mempunyai keku¬atan gaib, mempunyai kekuatan batin yang berlebih, dan
mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itulah mereka itu dipercaya sebagai pembawa
dan penyiar agama Islam ahli dalam tasawwuf.
Wali Songo
jumlahnya ada sembilan orang, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan
Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan
Syekh Siti Jenar. Kebanyakan dari gelar-gelar ini di¬ambil dari nama tempat
mereka dimakamkan, misalnya Gunung Jati di dekat Cirebon, Drajat dekat Tuban,
Muria di lereng Gunung Muria, Kudus di Kudus dsb.
Dalam masa
hidupnya mereka menyebarkan agama Islam di daerah tempatnya bermukim. Di
wilayahnya itu mereka juga membangun masjid sebagai tempat beribadah. Di daerah
sekitar kaki selatan Gunung Muria, banyak ditemukan tinggalan makam para Wali
dan masjid tinggalannya, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus.
Masjid yang dibangun adalah Masjid Demak dan Masjid Kudus.
Walaupun di
Indonesia dikenal mazhab Syafi‘i dan menganut Sunnah wal Jamaah, namun di
kalangan masyarakat di beberapa tempat di Nusantara masih ditemukan jejak-jejak
Syi‘ah yang semula dikenal pusatnya di Persia (Iran). Di Timur Tengah dan di
Persia, penganut Sunnah wal Jamaah dan penganut Syi‘ah tidak sepaham, terutama
dalam hal sumber hukum Islam (ijma= kesepakatan para alim ulama). Dalam aliran
ini sudah dimulai politisasi agama, terutama pada dasar hukum ijma. Kaum Syi‘ah
menganggap bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah yang masih keturunan Nabi
Muhammad SAW. Dengan adanya Ijma, dimungkinkan yang bukan keturunan Nabi
Muhammad SAW dapat menjadi Khalifah. Karena itulah yang kaum Syi‘ah menganggap
al-Qur‘an dan Hadist saja yang menjadi dasar hukum agama Islam, sedangkan Ijma
dan Qiyash (= per¬umpamaan) tidak perlu.
Runtuhnya
kesultanan Syi‘ah tidak menyurutkan ajaran yang “terlanjur” ber-kembang di
masyarakat. Berbagai ritual Syi‘ah menjelma menjadi tradisi yang masih
ditemukan di beberapa daerah di Nusatara. Di Indonesia penganut Syi‘ah
jumlahnya tidak banyak (sekitar 1 juta), namun di beberapa tempat tradisi yang
biasa dilakukan umat Syi‘ah masih dapat ditemukan, dan secara kontinyu
dilaku¬kan oleh kelompok masyarakat tersebut.
Dapat
dikemukakan sebagai contoh tentang tradisi Syi‘ah, misalnya:Perayaan Tabot,
peringatan Hari Arbain atau hari wafatnya Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad)
oleh kaum Syiah dalam bentuk perayaan tabot (tabut). Tabot dibuat dari batang
pisang yang di¬hiasi bunga aneka warna, diarak ke pantai, diiringi teriakan
“Hayya Husein hayya Husein” yang arti¬nya “Hidup Husein, hidup Husein”. Pada
akhir upacara tabot ini kemudian dilarung di laut lepas. Benda yang disebut
tabot melambangkan keranda mayat. Perayaan Tabot masih dilakukan masyarakat
pada setiap tanggal 10 Muharram di Bengkulu, Pariaman, dan Aceh.
Asyura di Jawa
dalam sistem pertanggalan Jawa berubah menjadi bulan Suro, sebutan untuk bulan
Muharram (bulan wafatnya Husein). Peringatan Asyura belakangan dikenal dengan
istilah “Kasan Kusen”. Di Aceh, Asyura diistilahkan dengan Bulan Asan Usen. Di
Makassar Asyura dimaknai sebagai perayaan kemenangan Islam pada zaman Nabi
Muhammad SAW, sehingga masyarakat merayakan¬nya dengan sukacita. Mereka membuat
bubur tujuh warna dari warna dasar merah, putih, dan hitam.
Peringatan Hari
Arbain dirayakan juga di Desa Marga Mukti, Pengalengan, Jawa Barat. Ratusan
umat Islam Syi‘ah memenuhi Masjid al-Amanah untuk melakukan nasyid, doa
persembahan kepada Imam Husein, dan ziarah Arbain, doa untuk keluarga Ali bin
Abi Thalib.
Debus. Adalah
pertunjukan yang hubungannya erat dengan tarekat Rifa‘iyah. Tarekat ini
didirikan oleh Ahmad al-Rifa‘i yang wafat pada tahun 1182 Masehi. Tarekat ini
pandangannya lebih fanatik dengan ciri-ciri melakukan penyiksaan diri,
mukjizat-mukjizat seperti makan beling, berjalan di atas bara api, menyi¬ramkan
air keras (HCl) ke tubuhnya, dan menusuk-nusuk tubuh dengan benda tajam.
Penganut Rifa‘iyah dengan debus-nya terdapat di Aceh, Kedah, Perak, Banten,
Cirebon, dan Maluku bahkan sampai masyarakat Melayu di Tanjung Harapan Afrika
Selatan
B. Sembilan
tokoh wali songo dan peranannya dalam menyebarkan islam di
Menurut buku
Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1] majelis
dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa
angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun
satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena
pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis
yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:
è
Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari
Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana
Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan
Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
è
Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari
Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq
(wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan
Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati
yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat
1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
è
Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari
Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana
Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465),
Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan
Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana
‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
è
Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan
Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465
mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada
tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung
Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
è
Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari
Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden
Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri,
Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat
1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat
1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
è
Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari
Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh
Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan
kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan
ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang
tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569),
Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan
Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan
Sunan Muria (wafat 1551).
è
Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari
Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan
Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan
ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun
1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana
Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung
yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570
menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak
Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu
Sunan Muria.
è
Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari
Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat
1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan
Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan
Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin
Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul
Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan
Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Peranan masing-masing walisongo
1.
SUNAN GRESIK atau Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi
Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar
Thariqat Wali Songo . Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada
paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi,
mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Maulana Malik
Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa.
Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan
Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama
di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di
desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
2.
SUNAN AMPEL atau Raden Rahmat
Sunan Ampel adalah Anak Maulana Malik Ibrahim yang tertua.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal
dengan namaRaden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel
sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah
Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota
Wonokromo sekarang). Beberapa versi
menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama
Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu
di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah
Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari
Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit
beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi.
Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang
menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah
“Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni
seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
3.
SUNAN
BONANG atau Raden Makhdum Ibrahim
Sunan Bonang di perkirakan lahir tahun 1465 M dari
seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang adalah Anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik
Ibrahim. Pada masa kecilnya, Sunan Bonang memiliki nama Raden Makdum Ibrahim. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren
ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di
berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas
masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat
‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut
Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan
kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara
populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan
Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
4.
SUNAN DRAJAT atau Raden Qasim
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan
keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai
Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak
berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja
keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama
Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah
perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang
macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok
peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat
diperkirakan wafat wafat pada 1522.
5.
SUNAN
KUDUS atau Ja'far Shadiq
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman
Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran
binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24
dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin
Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus
memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai
panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan
negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di
antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan
Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal
ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam.
Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
6.
SUNAN
GIRI atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad
Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada
juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa
kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja
Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak
oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
7.
SUNAN KALIJAGA atau Raden Said
Sunan Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling
banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya
adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak
Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut
Islam. Dalam dakwah, ia punya pola yang
sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya
cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata).
Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia
sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh
jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap:
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
8.
SUNAN MURIA atau Raden Umar Said
Ia putra Dewi Saroh – adik kandung Sunan Giri
sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga Nama kecilnya adalah
Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng
Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan
Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di
daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan
bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
9.
SUNAN GUNUNG JATI atau Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan
lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja
Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. yarif
Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.
Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro
Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon
yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah
satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam
dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Kesembilan wali ini mempunyai peranan yang sangat penting
dalam penyebaran agama Islam di pulau
Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam
antara lain:
1. Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada
masyarakat yang belum banyak mengenal
ajaran Islam di daerahnya masing-masing.
2. Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan
mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
3. Sebagai orang-orang yang ahli di bidang agama
Islam.
4. Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT karena
terus-menerus beribadah kepada-Nya,
sehingga memiliki kemampuan yang lebih.
5. Sebagai pemimpin agama Islam di daerah
penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di
kalangan masyarakat Islam.
6. Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan
agama Islam kepada para muridnya.
7. Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama Islam
dengan cukup luas.
8. Sebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa
hidupnya. Berkat kepeloporan dan perjuangan wali sembilan itulah, maka agama
Islam menyebar ke seluruh pulau Jawa bahkan sampai ke seluruh daerah di
Nusantara