Home » » MASUKNYA WALI SONGO DALAM MEMPENGARUHI NUSANTARA

MASUKNYA WALI SONGO DALAM MEMPENGARUHI NUSANTARA

Written By Unknown on Sunday, 7 June 2015 | 03:04


       A.      Sejarah masuknya wali songo ke Indonesia
Wali Songo di tanah Jawa dikenal sebagai sem¬bilan orang Wali-Ullah yang dianggap sebagai penyiar-penyiar terkemuka agama Islam. Mereka ini sengaja dengan giat menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam. Waktu penduduk tanah Jawa masih berkeper¬cayaan lama yang percaya dengan hal-hal gaib, para wali tersebut dipercaya mempunyai keku¬atan gaib, mempunyai kekuatan batin yang berlebih, dan mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itulah mereka itu dipercaya sebagai pembawa dan penyiar agama Islam ahli dalam tasawwuf.

Wali Songo jumlahnya ada sembilan orang, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Syekh Siti Jenar. Kebanyakan dari gelar-gelar ini di¬ambil dari nama tempat mereka dimakamkan, misalnya Gunung Jati di dekat Cirebon, Drajat dekat Tuban, Muria di lereng Gunung Muria, Kudus di Kudus dsb.

Dalam masa hidupnya mereka menyebarkan agama Islam di daerah tempatnya bermukim. Di wilayahnya itu mereka juga membangun masjid sebagai tempat beribadah. Di daerah sekitar kaki selatan Gunung Muria, banyak ditemukan tinggalan makam para Wali dan masjid tinggalannya, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus. Masjid yang dibangun adalah Masjid Demak dan Masjid Kudus.

Walaupun di Indonesia dikenal mazhab Syafi‘i dan menganut Sunnah wal Jamaah, namun di kalangan masyarakat di beberapa tempat di Nusantara masih ditemukan jejak-jejak Syi‘ah yang semula dikenal pusatnya di Persia (Iran). Di Timur Tengah dan di Persia, penganut Sunnah wal Jamaah dan penganut Syi‘ah tidak sepaham, terutama dalam hal sumber hukum Islam (ijma= kesepakatan para alim ulama). Dalam aliran ini sudah dimulai politisasi agama, terutama pada dasar hukum ijma. Kaum Syi‘ah menganggap bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Ijma, dimungkinkan yang bukan keturunan Nabi Muhammad SAW dapat menjadi Khalifah. Karena itulah yang kaum Syi‘ah menganggap al-Qur‘an dan Hadist saja yang menjadi dasar hukum agama Islam, sedangkan Ijma dan Qiyash (= per¬umpamaan) tidak perlu.

Runtuhnya kesultanan Syi‘ah tidak menyurutkan ajaran yang “terlanjur” ber-kembang di masyarakat. Berbagai ritual Syi‘ah menjelma menjadi tradisi yang masih ditemukan di beberapa daerah di Nusatara. Di Indonesia penganut Syi‘ah jumlahnya tidak banyak (sekitar 1 juta), namun di beberapa tempat tradisi yang biasa dilakukan umat Syi‘ah masih dapat ditemukan, dan secara kontinyu dilaku¬kan oleh kelompok masyarakat tersebut.

Dapat dikemukakan sebagai contoh tentang tradisi Syi‘ah, misalnya:Perayaan Tabot, peringatan Hari Arbain atau hari wafatnya Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad) oleh kaum Syiah dalam bentuk perayaan tabot (tabut). Tabot dibuat dari batang pisang yang di¬hiasi bunga aneka warna, diarak ke pantai, diiringi teriakan “Hayya Husein hayya Husein” yang arti¬nya “Hidup Husein, hidup Husein”. Pada akhir upacara tabot ini kemudian dilarung di laut lepas. Benda yang disebut tabot melambangkan keranda mayat. Perayaan Tabot masih dilakukan masyarakat pada setiap tanggal 10 Muharram di Bengkulu, Pariaman, dan Aceh.

Asyura di Jawa dalam sistem pertanggalan Jawa berubah menjadi bulan Suro, sebutan untuk bulan Muharram (bulan wafatnya Husein). Peringatan Asyura belakangan dikenal dengan istilah “Kasan Kusen”. Di Aceh, Asyura diistilahkan dengan Bulan Asan Usen. Di Makassar Asyura dimaknai sebagai perayaan kemenangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW, sehingga masyarakat merayakan¬nya dengan sukacita. Mereka membuat bubur tujuh warna dari warna dasar merah, putih, dan hitam.

Peringatan Hari Arbain dirayakan juga di Desa Marga Mukti, Pengalengan, Jawa Barat. Ratusan umat Islam Syi‘ah memenuhi Masjid al-Amanah untuk melakukan nasyid, doa persembahan kepada Imam Husein, dan ziarah Arbain, doa untuk keluarga Ali bin Abi Thalib.

Debus. Adalah pertunjukan yang hubungannya erat dengan tarekat Rifa‘iyah. Tarekat ini didirikan oleh Ahmad al-Rifa‘i yang wafat pada tahun 1182 Masehi. Tarekat ini pandangannya lebih fanatik dengan ciri-ciri melakukan penyiksaan diri, mukjizat-mukjizat seperti makan beling, berjalan di atas bara api, menyi¬ramkan air keras (HCl) ke tubuhnya, dan menusuk-nusuk tubuh dengan benda tajam. Penganut Rifa‘iyah dengan debus-nya terdapat di Aceh, Kedah, Perak, Banten, Cirebon, dan Maluku bahkan sampai masyarakat Melayu di Tanjung Harapan Afrika Selatan


      B.      Sembilan tokoh wali songo dan peranannya dalam menyebarkan islam di 
Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1] majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:
è Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.

è Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).

è Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.


è Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).

è Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.


è Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).

è Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.


è Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Peranan masing-masing walisongo

1.       SUNAN GRESIK atau Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

2.       SUNAN AMPEL atau Raden Rahmat

Sunan Ampel adalah Anak Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan namaRaden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).  Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.  Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”


3.        SUNAN BONANG atau Raden Makhdum Ibrahim

Sunan Bonang di perkirakan lahir tahun 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang adalah Anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Pada masa kecilnya, Sunan Bonang memiliki nama Raden Makdum Ibrahim.  Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.  Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.


4.       SUNAN DRAJAT atau Raden Qasim

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.

5.        SUNAN KUDUS atau Ja'far Shadiq

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

6.        SUNAN GIRI atau Raden Paku atau Ainul Yaqin

Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

7.       SUNAN KALIJAGA atau Raden Said

Sunan Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.  Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.


8.       SUNAN MURIA atau Raden Umar Said

Ia putra Dewi Saroh – adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

9.       SUNAN GUNUNG JATI atau Syarif Hidayatullah

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. yarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.  Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Kesembilan wali ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam  penyebaran agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam antara lain:

1. Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang  belum banyak mengenal ajaran Islam di daerahnya masing-masing.

2. Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.

3. Sebagai orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.

4. Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT karena terus-menerus  beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan yang lebih.

5. Sebagai pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.

6. Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada  para muridnya.

7. Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.


8. Sebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya. Berkat kepeloporan dan perjuangan wali sembilan itulah, maka agama Islam menyebar ke seluruh pulau Jawa bahkan sampai ke seluruh daerah di Nusantara
Bagikan ke:
Facebook
Tweets
0 Google
 
Copyright © LOVE IS MY LIFE - All Rights Reserved